Senin, 23 April 2012

Kelenjar Tiroid pada Kehamilan

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam hal pembelajaran kita saat ini tentunya kita ingin mendapatkan banyak pengetahuan terutama dalam hal yang menyangkut bidang kita, dalam kesehatan. Untuk itu dalam tugas ini kelompok kami membuat suatu pembahasan mengenai kelenjar Tiroid pada  kehamilan dengan penyakit hypertiroid dan hypotiroid.
Tiroid merupakan kelenjar yang berbentuk cuping kembar kelenjar ini terdapat di bawah jakun di depan trakea.
Penyakit tiroid yang diangkat dalam pembahasan ini yaitu kekurangan (hipotiroid) dan Hipertiroid pada kehamilan ( morbus basodowi ) adalah hiperfungsi kelenjar tiroid ditandai dengan naiknya metabolisme basal 15-20 %, kadang kala diserta pembesaran ringan kelenjar tiroid.
Berbagai gangguan atau penyakit endokrin dapat mempersulit atau menghambat  kehamilan dan sebaliknya kehamilan dapat mempengaruhi penyakit endokrin.  
B.    Tujuan Penulisan
Adapun maksud dan tujuan dari penulisan makala ini yaitu :
1.    Dalam memenuhi tugas terhadap dosen keperawatan Maternitas II khususnya mengenai Kelenjar Tiroid pada Kehamilan
2. Sebagai pembelajaran mahasiswa menganai Kelenjar Tiroid pada Kehamilan

C.    Manfaat
1.    Untuk mengetahui pengertian dari tiroid dan mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan kelenjar tiroid
2.    Untuk dapat memahami penjelasan mengenai penyakit tiroid terutama pada kehamilan


BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.    Definisi
Tiroid adalah kelenjar yang terletak di leher bagian belakang. Fungsi utamanya memproduksi hormon tiroid (T3 dan T4) dari iodium dan tirosin, dan mengatur aktivitas metabolisme tubuh.
Produksi atau sekresi T4 dan T3, diatur oleh banyaknya thyroid stimulating hormone (TSH) yang dilepaskan dari kelenjar pituitari dan diterima oleh kelenjar tiroid. Gangguan fungsi tiroid  dapat  mengganggu metabolisme tubuh dan berakibat buruk pada otak, hati, usus, sistem reproduksi, jantung, dan ginjal.
Kelainan tiroid pada wanita 4-5 kali lebih banyak dibandingkan pada pria dan sebagian besar terjadi pada saat wanita hamil. Berbagai perubahan hormonal dan metabolik terjadi selama kehamilan, menyebabkan perubahan kompleks pada fungsi tiroid maternal. Selama kehamilan normal kadar tiroid binding globulin (TBG) dalam sirkulasi meningkat dan juga akhirnya T3 dan T4 ikut meningkat. Hormon tiroid sangat penting untuk perkembangan otak bayi dan sistem saraf selama trimester pertama kehamilan.
Kelenjar tiroid adalah kelenjar endokrin yang merupakan satu-satunya kelenjar yang bisa langsung diperiksa pada pemeriksaan fisik. Kelenjar tiroid merupakan organ yang berbentuk seperti kupu-kupu dan terletak pada leher bagian bawah disebelah anterior trakea.
Pemeriksaan fungsi tiroid atau kemungkinan disfungsi memerlukan pemeriksaan yang lebih dari sekedar observasi dan palpasi daerah lokasi kelenjar tiroid. Tingkat metabolik dan ritme, termasuk keteraturan menstruasi pada wanita usia subur, diatur oleh kelenjar tiroid . Efek aktivitas tiroid sangat luas. Oleh karena itu, observasi tingkah laku, penampilan, kulit, mata, rambut, dan status kardiovaskular merupakan hal yang penting. Beberapa temuan memerlukan perhatian lanjut (misalnya, pembesaran, konsistensi yang kasar dan berpasir,dan nodul).
Dalam keadaan normal, kelenjar tiroid tidak terlihat dan hampir tidak teraba, tetapi bila membesar, dokter dapat merabanya dengan mudah dan suatu benjolan bisa tampak dibawah atau di samping jakun.
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroksin yang mempengaruhi metabolisme sel tubuh dan pengaturan suhu tubuh. Tiroksin mengandung banyak iodium. Kekurangan iodium dalam makanan dalam waktu panjang mengakibatkan pembesaran kelenjar gondok karena kelenjar ini harus bekerja keras untuk membentuk tiroksin. Kekurangan tiroksin menurunkan kecepatan metabolisme sehingga pertumbuhan lambat dan kecerdasan menurun.
Bila ini terjadi pada anak-anak mengakibatkan kretinisme, yaitu kelainan fisik dan mental yang menyebabkan anak tumbuh kerdil dan idiot. Kekurangan iodium yang masih ringan dapat diperbaiki dengan menambahkan garam iodium di dalam makanan.

B.    Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid
Anatomi Kelenjar Tiroid
Kelenjar  tiroid mulai terlihat/terbentuk pada janin berukuran 3,4-4 cm, yaitu pada akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar tiroid berasal dari lekukan faring antara branchial pouch pertama dan kedua. Dari bagian tersebut timbul divertikulum, yang kemudian membesar, tumbuh ke arah bawah mengalami decencus dan akhirnya melepaskan diri dari faring. Sebelum lepas, berbentuk sebagai duktus tiroglosus, yang berawal dari foramen sekum di basis lidah. Pada umumnya duktus ini akan menghilang setelah dewasa, tetapi pada beberapa keadaan masih menetap, atau terjadi kelenjar disepanjang jalan ini, yaitu antara letak kelenjar yang seharusnya dengan basis lidah. Dengan demikian sebagai kegagalan desensus atau menutupnya duktus akan ada kemungkinan terbentuk kelenjar tiroid yang abnormal , persistensi duktus tiroglosus, tiroid lingual, tiroid servikal, sedangkan desensus yang terlalu jauh akan memberikan tiroid substernal. Branchial pouch keempat pun ikut membentuk bagian kelenjar tiroid dan merupakan asal sel-sel parafolikuler atau sel C yang memproduksi kalsitonin.
Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher, terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh ismus sehingga bentukya menyerupai kupu-kupu atau huruf H, dan menutupi cincin trakea 2 dan 3. Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan gerakan terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat inilah yang digunakan di klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar tiroid atau tidak. Pengaliran darah ke kelenjar berasal dari a. Tiroidea superior dan a. Tiroidea inferior. Ternyata setiap folikel tiroid diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus perifolikular. Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini kearah nodus prefaring yang tepat berada diatas ismus serta ke kelenjar getah bening pretrakealis, sebagian lagi bermuara di kelenjar getah bening brakiosefalikus. Hubungan getah bening ini penting untuk menduga penyebaran keganasan yang berasal dari tiroid.
Fisiologis Kelenjar Tiroid
Bahan utama bagi pembentukan hormon thyroid adalah Iodine. Iodine ini terdapat banyak dalam bahan yang berasal dari laut (ikan laut, ganggang, dan sebagainya), atau terdapat dalam alam masuk tubuh lewat minuman serta makanan. Nasib unsur Iodine tersebut yang sudah berada dalam saluran makanan adalah sebagai berikut (CRYER 1976, EVERED 1976, MC KENZIE 1976, INGBAR 1974) : Unsur Iodine diserap usus, masuk sirkulasi dan ditangkap oleh bermacam-macam kelenjar, antara lain : choroid, ciliary body, kelenjar susu, plasenta, kelenjar air ludah, mukosa lambung serta intestinum tenue dan paling banyak oleh kelenjar gondok. Hanya yang terakhir akan disinggung, sebab yang lain tidak mempunyai arti fisiologik maupun klinik.
Prosesnya meliputi tujuh langkah :
1. Penangkapan iodide ("iodide trapping ") oleh folikel, yang merupakan proses aktif.
2. Organifikasi, dalam mana terjadi oksidasi iodine menempati valensi lebih tinggi yang diteruskan dengan iodinasi oleh unsur ini terhadap residu tirosil molekul thyroglobulin, untuk membentuk MIT (monoiodotyrosin) dan DIT (diiodotyrosin).
3. Proses coupling, terjadi pembauran MIT dan DIT membentuk T3 (triodotyronin) dan dua DIT membentuk T4 (thyro)dn). Keduanya masih dalam molekul thyroglobulin (TG).
4. Penyimpanan TG yang mengandung MIT, DIT, T3 dan T4 ke dalam kolloid.
5. Proteolisis. Pelepasan ikatan TG dengan hormon diatas. Pelepasan ini dipengaruhi protease enzim. Efek TSH terutama ialah memindah TG—hormon tadi dari kolloid ke sel folikel, dan baru disini dicerna oleh enzim proteolisis.
6. Deiodinasi. Sebetulnya merupakan usaha meningkatkan efektivitas dan efisiensi unsur Iodine. Dari empat iodotyrosin dan iodotyronin tadi hanya iodotyronin (T3, T4) yang secara biologik dan fisiologik aktif. Oleh karenanya MIT dan DIT dipecah lagi menjadi unsur Iodine dan gugusan tyrosil, yang kemudian kembali lagi dalam siklus hormonogenesis.
7. Pelepasan hormon : baik T4 maupun T3 dikeluarkan dari kelenjar, tetapi sebagian besar adalah T4. Hormon yang berada dalam sirkulasi diangkut oleh protein, yaitu : TBG (thyroid binding globulin), TBPA (binding prealbumin) dan albumin. Di samping yang bound ada juga yang "free" , FT4 maupun FT3, yang merupakan hormon aktif dan efektif, lagipula inilah yang efektif dalam mekanisma umpan balik dengan hipofise maupun hipotalamus. Kirakira 0,04% thyroxin dan 0,4% triiodothyronin dalam keadaanbebas. Sebagian besar T4 (80%) dimetabolisir dengan cara deiodinasi diperifer dan kira-kira 50% membentuk T3.

Berdasar hal ini dan sebab lainnya, thyroxin dianggap sebagai "prohormon" sedangkan T3 sebagai active-hormonnya. Hal ini dibuktikan dengan data yang memperlihatkan penderita athyreotic yang dibuat euthyroid dengan T4 sintetik, maka dalam darahnya terdapat kadar T3 yang normal. Sebagian kecil thyroxin tidak di-deiodinasikan, tetapi terkonjugasi dan diekskresikan lewat empedu. Meskipun ada sirkulasi enterohepatik, toh sebagian ada yang dikeluarkan di tinja maupun di urine.
Pengaturan aktifitas kelenjar gondok dipengaruhi oleh hormon TSH dari lobus anterior hipofisis, yang sebaliknya ia masih diatur oleh hipotalamus (TRH thyroid releasing hormone). Kenaikan free hormon T3 dan T4 akan menurunkan, sebaliknya penurunan kadarnya akan menaikkan sekresi TSH sebagai umpan baliknya. Umpan balik ini terutama lewat hipofisis, meskipun kemungkinan lewat hipotalamus belum dikesampingkan. Dengan demikian semua keadaan yang disertai kurangnya kadar hormon dalam sirkulasi akan meningkatkan TSH (pada hipothyroidi, baik compensated maupun decompensated hypothyroidism).
Kenaikan TSH diikuti hiperplasi dan hiperfungsi kelenjar gondok. Di samping pengaturan ini, masih ada "autoregulation " oleh kelenjar sendiri, yang berusaha mengatur Iodine intrathyroidal. Sebagai contoh : apabila ada defisiensi Iodine ringan maka reaksi tubuh pertama ialah meningkatnya uptake meskipun TSH tetap. Pada penyakit GRAVES, dulu dianggap sebab utamanya ialah akibat stimulus TSH, namun hakekatnya tidak sedemikian mudah. Stimulator yang berperanan di sini ialah : LATS. Sekarang ada bermacam-macam TSI ini (thyroid stimulating immunoglobulins) di antaranya LATS — p (protector), HTS (human thyroid stimulator) dan H — TACS (human thyroid adenylcyclase stimulator) (Mc KENZIE 1976, SALO MON, KAREN dan KLEEMAN, 1976).
Sehubungan dengan tahap/step hormonogenesis di atas, maka obat, zat yang berpengaruh dalam pembentukan hormon ini dapat digolongkan menurut titik tangkap kerjanya, yang semuanya memberikan kurangnya sekresi hormon. Iodine dalam kadar banyak (step 2, 3, 4, 5), thiocyanat, perchlorat, perjodat, nitrat, goitrin dan progoitrin (step 1), thiourea, PTU, MTU, methimazol, PAS, sulfonylurea, sulfonamide (step 2, 3). Perlu diketahui zat yang dapat lewat atau tidak dapat lewat plasenta. Yang dapat lewat, antara lain : unsur Iodine, antithyroid drugs (PTU, MTU dan sebagainya), LATS, TRH. Yang tidak dapat lewat : TSH. Mengenai T3 dan T4 dapat disimpulkan bahwa terdapat transfer ini tetapi jumlahnya sangat sedikit pada manusia, sedangkan pada domba malahan hanya T3 yang lewat sedangkan T4 tidak. (DUSSAULT et al 1972). Apabila kadar Iodine intrathyroidal kurang (seperti pada pengobatan dengan ATD, defisiensi Iodine, kerusakan karena radiasi) maka kelenjar akan membuat lebih banyak T3 daripada T4, demikian juga sekresinya. Di sini terdapat " preferential

C.    Fisiologi Tiroid dalam Kehamilan
Hormon tiroid tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) disintesis di dalam folikel tiroid. Tiroid-stimulating hormone (TSH) merangsang sintesis dan pelepasan T3 dan T4, yang sebelumnya didahului dengan pengambilan iodide yang penting untuk sintesis hormon tiroid. Walaupun T4 disintesis dalam jumlah yang lebih besar, namun di jaringan perifer T4 dikonversi menjadi T3 yang lebih poten melalui proses deiodinasi. Selama kehamilan normal kadar tiroid binding globulin (TBG) dalam sirkulasi meningkat dan juga akhirnya T3 dan T4 ikut meningkat.
Hormon tiroid sangat penting untuk perkembangan otak bayi dan sistem saraf. Selama trimester pertama kehamilan, fetus bergantung pada ibu untuk menyediakan hormon tiroid melalui plasenta karena fetus tidak dapat menghasilkan hormon tiroid sendiri sampai trimester kedua. Pada minggu ke-10-12, kelenjar tiroid fetus mulai berfungsi namun fetus tetap membutuhkan iodin dari ibu untuk menghasilkan hormon tiroid. Selama trimester kedua dan ketiga, hormon tiroid disediakan oleh ibu dan fetus, namun lebih banyak oleh ibu.
Selama kehamilan, fungsi kelenjar tiroid maternal bergantung pada tiga faktor independen namun saling terikat, yaitu :
    Peningkatan konsentrasi hCG yang merangsang kelenjar tiroid,
    Peningkatan ekskresi iodide urin yang signifikan sehingga menurunkan konsentrasi iodin  plasma, dan
    Peningkatan thyroxine-binding globulin (TBG) selama trimester pertama, menyebabkan peningkatan ikatan hormone tiroksin.
Pada akhirnya, faktor-faktor ini bertanggung jawab terhadap peningkatan kebutuhan tiroid.
a. Human Chorionic Gonadotropin (hCG)
Seperti yang disebutkan di atas, human chorionic gonadotropin (hCG) merupakan hormon peptid yang bertanggung jawab untuk produksi progesteron dalam konsentrasi yang adekuat pada awal kehamilan, sampai produksi progesteron diambil alih oleh plasenta yang sedang berkembang. Konsentrasi hCG meningkat secara dramatis selama trimester pertama kehamilan dan menurun secara bertahap setelahnya. Secara struktural, peptide hCG terdiri atas dua rantai, sebuah rantai α dan rantai β, dimana rantai α dari hCG identik dengan struktur yang membentuk TSH. Struktur yang homolog ini menjadikan hCG mampu merangsang kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid, namun tidak sekuat TSH.
    Kadar TSH turun selama kehamilan trimester pertama, berbanding dengan peningkatan hCG Walaupun hCG sebagai stimulan kelenjar tiroid, konsentrasi hormon tiroid bebas (tidak terikat) pada umumnya dalam batas normal atau hanya sedikit di atas normal selama trimester pertama. Efek perangsangan dari hCG pada kehamilan normal tidak signifikan dan normalnya ditemukan pada pertengahan awal kehamilan. Pada awal minggu ke-12 atau pada kondisi patologis tertentu, termasuk hipermesis gravidarum dan tumor trofoblastik, konsentrasi hCG mencapai kadar maksimal yang akan menginduksi keadaan hipertiroid dimana kadar tiroksin bebas meningkat dan kadar TSH ditekan.
b. Ekskresi Iodin Selama Kehamilan
Konsentrasi iodine plasma mengalami penurunan selama kehamilan, akibat peningkatan filtrasi glomerulus (GFR). Peningkatan GFR menyebabkan meningkatnya pengeluaran iodine lewat ginjal yang berlangsung pada awal kehamilan. Ini merupakan faktor penyebab turunnya konsentrasi iodine dalam plasma selama kehamilan. Kompensasi dari kelenjar tiroid dengan pembesaran dan peningkatan klirens iodin plasma menghasilkan hormon tiroid yang cukup untuk mempertahankan keadaan eutiorid. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pembesaran kelenjar tiroid adalah hal  yang fisiologis, merupakan kompensasi adaptasi terhadap peningkatan kebutuhan iodin yang berhubungan dengan kehamilan.
c. Thyroxine Binding Globulin
Hormon tiroid dalam serum diangkut oleh tiga protein, yaitu  thyroxine binding globulin (TBG), albumin, dan thyroxine binding prealbumin (TBPA) atau transtiretin. Dari ketiga protein tersebut, TBG memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap tiroksin. Pada pasien tidak hamil, sekitar 2/3 dari hormon tiroksin diikat oleh TBG. Pada kehamilan normal, terjadi peningkatan dari konsentrasi TBG sekitar dua kali lipat dari normal selama kehamilan sampai 6-12 bulan setelah bersalin. Hal ini menggambarkan peningkatan kadar hormon tiroksin total (TT4) pada semua wanita hamil, namun kadar tiroksin bebas (FT4) dan indeks tiroksin total (FTI) normal. Untuk menjamin kestabilan kadar hormon bebas, mekanisme umpan balik merangsang pelepasan  TSH yang bekerja untuk meningkatkanpengeluaran hormon dan menjaga kestabilan hemostasis kadar hormon bebas. Peningktan konsentrasi TBG merupakan efek langsung dari peningkatan kadar estrogen selama kehamilan. 
    Estrogen merangsang peningkatan sintesis TBG, memperpanjang waktu paruh dalam sirkulasi, dan menyebabkan peningkatan konsentrasi TBG serum. Estrogen juga merangsang hati untuk mensintesis TBG dan menyebabkan penurunan kapasitas TBPA. Pada akhirnya, proporsi hormon tiroksin dalam  sirkulasi yang berikatan dengan TBG meningkat selama kehamilan, dan dapat mencapai 75%. Kadangkala perubahan hormonal ini dapat membuat pemeriksaan  fungsi tiroid selama kehamilan sulit diinterpretasikan.

D.    Etiologi
Terbagi menjadi 4 yaitu :
1.    Hashimoto’s Tiroiditis Adalah penyakit autoimun dimana system imun tubuh secara tidak memadai menyerang jaringan tiroid. Sebagian kondisi ini diperkirakan mempunyai suatu basis genetik.
2. Lymphoctic Thiroiditis ( yang mungkin terjadi setelah hipertiroid ) Thyiroiditis merujuk pada peradangan kelenjar tiroid. Ketika peradangan disebabkan suatu tipe tertentu dari sel darah putih yang dikenal sebagai suatu lymphocyte, kondisinya di rujuk sebagai lymphoctic thiroiditis.
3. Kekurangan Hormon Tiroid
Kebutuhan yodium bagi tubuh relatife sangat kecil, namun tetap harus terpenuhi. Kelenjar gondok ( tiroidea ) menghasilkan hormon tiroid yang prosesnya memerlukan unsure yodium. Selain itu hormon tiroid, kelenjar gondok menghasilkan hormon pertumbuhan, sebagai pengatur metabolisme protein, lemak dan masih banyak fungsinya.
Pada ibu hamil jumlah yodium adalah 200 µg. dalam keaadan dimana ibu hamil sudah mengalami gangguan tiroid sebelumnya akibat kekurangan yodium, maka kehamilan ini berakibat memperberat penyakit gangguan kelenjar tiroid tersebut.
4. Terapi Radiasi
Radiasi yang digunakan untuk terapi kanker kepala dan leher dapat mempengeruhi kelenjar tiroid yang dapat menyebabkan hipotiroid.

E.    Patofisiologi
Pada kehamilan dengan hipotiroid, kebutuhan hormon tiroksin akan meningkat sehingga dapat terjadi hipotiroid. Hal ini mengakibatkan timbulnya mekanisme umpan balik (feedback mechanism) yang meningkatkan produksi TSH untuk merangsang pelepasan tiroksin pada kelenjar tiroid. Rangsangan TSH terus-menerus pada kelenjar tiroid yang tidak mendapat cukup suplai untuk produksi hormon tiroksin berakibat pada hiperplasia kelenjar tiroid. Akibat berulangnya episode hiperplasia, involusi dapat terjadi berbagai bentuk degenerasi seperti fibrosis, nekrosis, kalsifikasi pembentukan kista yang menampakkan diri sebagai struma nodosa. Penyebab hipotroid primer umumnya meliputi tiroiditis autoimun seperti tiroiditis Hashimotho’s, penyebab iatrogenik seperti radiasi atau pembedahan, hipotiroid kongenital, obat - obatan seperti lithium atau amiodaron, defisiensi yodium, dan penyakit-penyakit infiltratif. Hipotiroidisme sekunder dapat disebabkan oleh penyakit hipotalamus atau hipofisa (Sheehan disease).
Hipotiroidisme pada kehamilan berkaitan erat dengan perkembangan otak janin. Hal ini karena sebelum dilahirkan bayi sangat bergantung pada hormon tiroid dari ibunya sebelum kelenjar tiroid bayi dapat berfungsi. Karenanya kehamilan dengan hipotiroid dapat berakibat terjadinya retardasi mental. Pada ibu sendiri, hipotiroid meningkatkan kerja kelenjar tiroid. Sementara suplai yodium tidak mencukupi, maka terjadi hiperplasia kelenjar berulang. Akibatnya dapat timbul goiter atau struma nodulus dengan manifestasi berupa benjolan pada daerah leher (gondok). Manifestasi klinis dari hipotiroidisme seperti metabolisme menurun, obstipasi, lesu, anoreksia, BB meningkat, dapat berisiko terjadinya abortus, peningkatan tekanan darah & prematuritas.

F.    Fungsi Kelenjar Tiroid
Fungsi utama kelenjar tiroid adalah mempertahankan laju metabolisme yang sesuai. Kalsitonin yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid penting untuk metabolisme kalsium dan juga bekerja untuk mengurangi konsentrasi kalsium plasma darah. Hal ini mencegah terbentuknya osteoklas-osteoklas baru (Martinelli & Fontana, 1990). Ketidakseimbangan dapat menyebabkan tulang-tulang melemah.
Adapun fungsi kelenjar tiroid adalah:
1. Bekerja sebagai perangsang proses oksidasi
2. Mengatur pengguanaan oksidasi
3. Mengatur pengeluaran karbondioksida
4. Metabolik dalam hal pengaturan susunan kimia dalam jaringan
5. Pada anak mempengaruhi perkembangan fisik dan mental.
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid, yang mengendalikan kecepatan metabolisme tubuh. Hormon tiroid mempengaruhi kecepatan metabolisme tubuh melalui 2 cara:
1.    Merangsang hampir setiap jaringan tubuh untuk menghasilkan protein
2.    Meningkatkan jumlah oksigen yang digunakan oleh sel.
Jika sel-sel bekerja lebih keras, maka organ tubuh akan bekerja lebih cepat. Untuk menghasilkan hormon tiroid, kelenjar tiroid memerlukan yodium, yaitu suatu eleman yang terdapat di dalam makanan dan air. Kelenjar tiroid menangkap yodium dan mengolahnya menjadi hormon tiroid. Setelah hormon tiroid digunakan, beberapa yodium di dalam hormon kembali ke kelenjar tiroid dan didaur-ulang untuk kembali menghasilkan hormon tiroid.
Tubuh memiliki mekanisme yang runit untuk menyesuaikan kadar hormon tiroid. Hipotalamus (terletak tepat di atas kelenjar hipofisa di otak) menghasilkan thyrotropin-releasing hormone, yang menyebabkan kelenjar hipofisa mengeluarkan thyroid-stimulating hormone (TSH).
Sesuai dengan namanya, TSH ini merangsang kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid. Jika jumlah hormon tiroid dalam darah mencapai kadar tertentu, maka kelenjar hipofisa menghasilkan TSH dalam jumlah yang lebih sedikit; jika kadar hormon tiroid dalam darah berkurang, maka kelenjar hipofisa mengeluarkan lebih banyak TSH. Hal ini disebut mekanisme umpan balik.
Hormon tiroid terdapat dalam 2 bentuk:
1. Tiroksin (T4), merupakan bentuk yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid, hanya memiliki efek yang ringan terhadap kecepatan metabolisme tubuh.
2. Tiroksin dirubah di dalam hati dan organ lainnya ke dalam bentuk aktif, yaitu tri-iodo-tironin (T3). Perubahan ini menghasilkan sekitar 80% bentuk hormon aktif, sedangkan 20% sisanya dihasilkan oleh kelenjar tiroid sendiri.

Perubahan dari T4 menjadi T3 di dalam hati dan organ lainnya, dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya kebutuhan tubuh dari waktu ke waktu. Sebagian besar T4 dan T3 terikat erat pada protein tertentu di dalam darah dan hanya aktif jika tidak terikat pada protein ini. Dengan cara ini, tubuh mempertahankan jumlah hormon tiroid yang sesuai dengan kebutuhan agar kecepatan metabolisme tetap stabil.

G.    Manifestasi klinis
Gejala utama :
1.    Pembengkakan, mulai dari ukuran sebuah nodul kecil untuk sebuah benjolan besar, di bagian depan leher tepat di bawah Adam’s apple.
2.    Perasaan sesak di daerah tenggorokan.
3.    Kesulitan bernapas (sesak napas), batuk, mengi (karena kompresi batang tenggorokan).
4.    Kesulitan menelan (karena kompresi dari esofagus).
5.    Suara serak.
6.    Distensi vena leher.
7.    Pusing ketika lengan dibangkitkan di atas kepala
8.    Kelainan fisik (asimetris leher)
9.    Keadaan klinis yang dapat ditentukan adalah gerakan janin yang jarang yaitu secara subyektif kurang dari 7 x per 20 menit atau secara obyektif dengan KTG kurang dari 10 x per 20 menit

Dapat juga terdapat gejala lain, diantaranya :
1.    Tingkat peningkatan denyut nadi
2.    Detak jantung cepat
3.    Diare, mual, muntah
4.    Berkeringat tanpa latihan
5.    Goncangan
6.    Agitasi

H.    Pembentukan dan Sekresi Hormon Tiroid
Ada 7 tahap, yaitu:
1.    Trapping
Proses ini terjadi melalui aktivitas pompa iodida yang terdapat pada bagian basal sel folikel. Dimana dalam keadaan basal, sel tetap berhubungan dengan pompa Na/K tetapi belum dalam keadaan aktif. Pompa iodida ini bersifatenergy dependent dan membutuhkan ATP. Daya pemekatan konsentrasi iodida oleh pompa ini dapat mencapai 20-100 kali kadar dalam serum darah. Pompa Na/K yang menjadi perantara dalam transport aktif iodida ini dirangsang oleh TSH.
2.    Oksidasi
Sebelum iodida dapat digunakan dalam sintesis hormon, iodida tersebut harus dioksidasi terlebih dahulu menjadi bentuk aktif oleh suatu enzim peroksidase. Bentuk aktif ini adalah iodium. Iodium ini kemudian akan bergabung dengan residu tirosin membentuk monoiodotirosin yang telah ada dan terikat pada molekul tiroglobulin (proses iodinasi). Iodinasi tiroglobulin ini dipengaruhi oleh kadar iodium dalam plasma. Sehingga makin tinggi kadar  iodium intrasel maka akan makin banyak pula iodium yang terikat sebaliknya makin sedikit iodium di intra sel, iodium yang terikat akan berkurang sehingga pembentukan T3 akan lebih banyak daripada T4.

3.    Coupling
Dalam molekul tiroglobulin, monoiodotirosin (MIT) dan diiodotirosin (DIT) yang terbentuk dari proses iodinasi akan saling bergandengan (coupling) sehingga akan membentuk triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4). Komponen tiroglobulin beserta tirosin dan iodium ini disintesis dalam koloid melalui iodinasi dan kondensasi molekul tirosin yang terikat pada ikatan di dalam tiroglobulin. Tiroglobulin dibentuk oleh sel-sel tiroid dan dikeluarkan ke dalam koloid melalui proses eksositosis granula.
4.    Penimbunan (storage)
Produk yang telah terbentuk melalui proses coupling tersebut kemudian akan disimpan di dalam koloid. Tiroglobulin (dimana di dalamnya mengandung T3 dan T4), baru akan dikeluarkan apabila ada stimulasi TSH.
5.    Deiodinasi
Proses coupling yang terjadi juga menyisakan ikatan iodotirosin. Residu ini kemudian akan mengalami deiodinasi menjadi tiroglobulin dan residu tirosin serta iodida. Deiodinasi ini dimaksudkan untuk lebih menghemat pemakaian iodium.
6.    Proteolisis
TSH yang diproduksi oleh hipofisis anterior akan merangsang pembentukan vesikel yang di dalamnya mengandung tiroglobulin. Atas pengaruh TSH, lisosom akan mendekati tetes koloid dan mengaktifkan enzim protease yang menyebabkan pelepasan T3 dan T4 serta deiodinasi MIT dan DIT.
7.    Pengeluaran hormon dari kelenjar tiroid (releasing)
Proses ini dipengaruhi TSH. Hormon tiroid ini melewati membran basal dan kemudian ditangkap oleh protein pembawa yang telah tersedia di sirkulasi darah yaitu Thyroid Binding Protein (TBP) dan Thyroid Binding Pre Albumin(TBPA). Hanya 0,35% dari T4 total dan 0,25% dari T3 total yang berada dalam keadaan bebas. Ikatan T3 dengan TBP kurang kuat daripada ikatan T4 dengan TBP. Pada keadaan normal kadar T3 dan T4 total menggambarkan kadar hormon bebas. Namun dalam keadaan tertentu jumlah protein pengikat bisa berubah. Pada seorang lansia yang mendapatkan kortikosteroid untuk terapi suatu penyakit kronik cenderung mengalami penurunan kadar T3 dan T4 bebas karena jumlah protein pembawa yang meningkat. Sebaliknya pada seorang lansia yang menderita pemyakit ginjal dan hati yang kronik maka kadar protein binding akan berkurang sehingga kadar T3 dan T4 bebas akan meningkat.

I.    Kelenjar  Tiroid Selama Masa Kehamilan
1.    Fungsi Tiroid pada Kehamilan
Perubahan mencolok dalam paramater tiroid selama kehamilan adalah peningkatan dari TBG dengan akibat meningkatnya T4 total dan T3 total pada serum. Peningkatan TBG disebabkan oleh glikosilasi hepar akibat-estrogen dari TBG dengan Nasetilglukosamin, yang memperpanjang kecepatan bersihan metabolik TBG. Biasanya tidak terdapat perubahan dalam prealbumin pengikat tiroksin dan sedikit perubahan pada albumin. Walaupun T4 dan T3 total meningkat, keseimbangan yang baru timbul antara tironin bebas dan terikat, dan kadar T4 bebas dan T3 bebas normal. Perubahan lain pada kehamilan termasuk suatu peningkatan bersihan iodida, yang pada daerah dengan asupan iodin yang rendah, dapat menyebabkan suatu penurunan T4, suatu kenaikan TSH, dan pembesaran tiroid. hCG, yang mencapai puncak mendekati akhir dari trimester pertama, mempunyai aktivitas agonis TSH yang lemah dan dapat merupakan 24 penyebab dari pembesaran tiroid yang ringan yang terjadi pada saat tersebut.
Ibu melintasi plasenta dan mensuplai kebutuhan janin; dalam jumlah yang besar, I dapat menghambat fungsi tiroid janin. TSH-R Ab[stim] dan TSH-R Ab[blok] ibu juga dapat melintasi plasenta dan dapat merupakan penyebab dari gangguan fungsi tiroid pada janin. Seperti dijelaskan di atas, sebagian besar T3 dan T4 ibu diiodinisasi oleh deiodinase-5 plasental tipe 3 dan tidak mencapai janin. Namun, obat-obatan antitiroid seperti propiltiourasil dan metimazol melintasi plasenta dan dalam dosis yang besar akan menghambat fungsi tiroid janin


Kehamilan akan menyebabkan perubahan struktur dan fungsi kelenjar tiroid ibu, sehingga kadang-kadang menyulitkan penegakan diagnosis penyakit atau menentukan adanya kelainan tiroid.
Proses hiperplasia glandular dan bertambahnya volume kelenjar tiroid akan menyebabkan kelenjar tiroid membesar sedang, sehingga penggunaan iodid (iodide uptake) oleh kelenjar tiroid ibu juga akan meningkat. Akibatnya, sekresi harian hormon tiroksin juga akan meningkat. Pada awal kehamilan hormon tiroksin ibu akan pindah kejanin sehingga terjadi hipotiroidisme janin. Proses akan terjadi selama kehamilan.
Hormon tiroid diperlukan untuk perkembangan otak dan fungsi mental normal. Selain kadar hormon total ataupun terikat, konsentrasi thyroid-binding globulin (TBG) dalam serum darah ibu juga akan meningkat secara bermakna. Akibat rangsangan tiroid, karena adanya aktivitas silang dari hormon chorionic gonadotropin yang lemah, maka pada awal kehamilan aktivitas tirotropin akan menurun, sehingga tidak dapat melalui sawar plasenta.
Pada kehamilan 12 minggu pertama kadar hormon chorionic gonadotropin akan mencapai puncaknya dan kadar tiroksin bebas akan meningkat dan akan menekan kadar tirotropin, sehingga thyrotropin releasing hormone (TRH) tidak dapat terdeteksi dalam serum darah ibu. Berbeda dengan trimester pertama, pada pertengahan kehamilan, walaupun serum TRH janin tidak meningkat, tetap dapat terdeteksi. Hal ini karena adanya transfer plasenta yang minimal.
Gangguan kelenjar tiroid pada umumnya di dapatkan pada perempuan muda. Insidensi hipertiroidism, hipotiroidism, dan tiroiditis diperkirakan sekitar 1%.
Terhadap hubungan yang erat antara fungsi kelenjar tiroid ibu dan janin yang dikandungnya. Janin bergantung pada hormon tiroksin ibu. Obat-obat yang diminum ibu akan mempengaruhi kelenjar tiroid ibu dan kelenjar tiroid janin.
Sebagian besar gangguan kelenjar tiroid dapat diketahui dengan terdeteksinya otoantibodi pada berbagai komponen sel. Antibodi selain dapat merangsang fungsi kelenjar tiroid, juga dapat menghambat atau bahkan menyebabkan terjadinya peradangan kelenjar tiroid, sehingga jaringan tiroid akan menjadi hancur.
Thyroid stimulating immunoglobulin yang menempel dan mengaktifkan reseptor tirotropin menyebabkan hiperfungsi dan pertumbuhan kelenjar tiroid. Antibodi ini dapat diidentifikasi pada sebagian besar penderita dengan gambaran klasik penyakit graves.
Selama masa hamil, pembesaran moderat kelenjar tiroid merupakan akibat hiperplasia jaringan glandular dan peningkatan vaskularitas. Konsumsi oksigen dan peningkatan BMR merupakan akibat aktivitas metabolik janin.
Kelenjar tiroid berkembang bersama struktur kepala dan leher selama minggu ketiga dan keempat. Sekresi tiroksin dimulai selama minggu ke-8. Tiroksin ibu tidak dengan mudah menembus plasenta. Akibatnya, janin yang tidak memproduksi hormon tiroid akan lahir menderita hipotiroidisme kongenital. Apabila kondisi ini tidak diobati,bayi akan mengalami retardasi mental berat. Semua neonatus diskrining melalui pemeriksaan darah setelah lahir untuk mengetahui apakah neonatus tersebut mengalami hipotiroidisme (Appendiks F).
Korteks adrenal dibentuk selama minggu keenam dan menghasilkan hormon pada minggu  ke-8 dan ke-9. Menjelang aterm, janin menghasilkan lebih banyak kortisol. Hal ini diduga membantu dimulainya persalinan dengan menurunkan progesteron ibu dan merangsang produksi prostaglandin.
Pankreas dibentuk dari usus depan selama minggu kelima sampai ke-8. Pulau Langerhans terbentuk selama minggu ke-12. Insulin dihasilkan pada minggu ke-20. Bayi dari ibu yang diabetesnya tidak terkontrol akan mengalami hiperglikemia akibat hiperglikemia ibu, yang selanjutnya akan merangsang hiperinsulinemia dan hiperplasia sel-sel pulau Langerhans. Kondisi ini akan menghasilkan janin berukuran besar. Hiperinsulinemia juga menghambat pematangan paru, sehingga neonatus berisiko mengalami distres pernapasan dan hipoglikemia saat sumber glukosa ibu hilang saat melahirkan. Pengaturan kadar glukosa ibu selama masa hamil mengurangi masalah pada bayi.

2.    Kelainan kelenjar tiroid dalam kehamilan
a.    Hipotiroid
Hipotiroid adalah menurunnya produksi hormon tiroid pada kalenjar tiroid. Kalenjar tiroid sendiri bertugas melepas hormon tiroid keseluruh tubuh lewat pembuluh darah. Pada kasus hipotiroid, pelepasan ini tidak bisa terlaksana dengan baik sehingga berbagai aktivitas fisik dan mental akan ikut terganggu.
Sebagian besar penyakit hipotiroid pada orang dewasa disebabkan oleh dirusaknya kelenjar tiroid oleh otoantibodi, khususnya antibodi antitthyroid peroxidase. Oleh karena itu, gangguan-gangguan hipotiroid juga berhubungan dengan tirotoksikosis graves. Kedua kelainan ini mungkin berhubungan akibat terjadinya transfer timbal balik sel-sel janin pada kehamilan sebelumnya.
Secera klinis diagnosis hipotiroid ditegakan apabila kadar tiroksin bebas rendah, sedangkan kadar tirotropin meningkat.
Keadaan hipotiroid di hubungkan dengan meningkatnya kejadian infertilitas (kemandulan) atau keguguran, dan tidak umum ditemukan keadaan hipertiroid yang berat dalam kehamilan.
Karena adanya perdarahan haid anovulatoar (ovulasi tidak ada). Maka wanita ini jarang menjadi hamil (mandul). Namun, wanita cebol ini dapat pula menjadi hamil.
Klasifikasi
Secara klinis di kenal 3 hipotiroid,yaitu :
1.    Hipotiroid sentral,karena kerusakan hipofisis atau hipothalamus.
2.    Hipotiroid primer apabila yang rusak kelenjar tiroid.
3.    Karena sebab lain,seperti farmakologis,defisiensi yodium,kelebihan yodium,dan resistensi perifer.

Yang paling banyak di temukan adalah hipotiroidisme primer. Oleh karena itu,umumnya diagnosis di tegakkan berdasar ataas TSH merangka.
Gejala-gejala: cebol (kritinismus), edema kulit lembut, kulit kering, lekas letih, lidah besar, dan suara serak.
Pengaruh pada kehamilan dan persalinan:
1)    Abortus habitualis (abortus 3 kali atau lebih/berturut-turut)
2)    Cacat bawaan dan kritinismus janin
3)    Kehamilan dapat berlanjut sampai a terme, namun karena ibu cebol persalinan dapat macet dan diakhiri dengan seksio sesarea.
4)    Tetapi dilakukan dengan pemberian tiranon.

Insidensi dalam kehamilan
Insidensi kejadian hipotiroid adalah sekitar 2,5%. Defisiensi kelenjar tiroid klinik ditemukan pada 1,3 per 1000 dan subklinis 23 per 1000 orang.
Hipotiroid subklinis
Insidensi keadaan hipotiroid subklinis pada perempuan berusia antara 18-45 tahun adalah sekitar 5 %. Dari semua ini, 2-5 % pertahun keadaan mereka memburuk dan berkembang menjadi kegagalan tiroid secara klinis.
Faktor keturunan merupakan faktor resiko. Faktor-faktor resiko lainnya untuk terjadinya kegagalan kelenjar tiroid adalah penyakit diabetes tipe 1 dan antibodi anti mikrosomal.
Efek hipotiroid subklinis pada hasil akhir kehamilan
Kelainan organ tiroid ibu dan janin saling berhubungan. Pada keduanya fungsi tiroid sangat bergantung pada cukup tidaknya iodin. Defisiensi asupan iodin pada awal kehamilan dapat menyebabkan keadaan hipotiroid pada ibu.
Hipotiroid dengan gambaran klinik yang jelas berhubungan dengan keadaan perinatal yang buruk. Jika gangguan tiroid ini dapat diatasi sebelum terjadi kehamilan, biasanya didapatkan keadaan perinatal yang normal.
Terapi pengganti yang di gunakan adalah dengan memberikan tiroksin, dosis antara 50-100 g per hari. Kadar serum tirotropin diukur setiap 4-6 minggu dan dosis tiroksin ditingkatkan antara 25-50 g sampai mencapai nilai normal.
Kehamilan berhubungan dengan peningkatan kebutuhan tiroksi yaitu sekitar sepertiganya dan kemungkinan akibat meningkatnya produksi hormon estrogen. Oleh karena itu, pada kehamilan kebutuhan tiroksin pengganti jadi lebih tinggi.
Keadaan hipotiroid pada ibu dapat menghambat perkembangan neurofisiologik janin. Anak-anak yang dilahirkan oleh perempuan dengan kadar T4 kurang dari 10 persentil, berisiko terjadinya ketidakseimbangan perkembangan psikomotor. Selain itu, pada hipotiroid subklinis bisa meningkatkan terjadinya persalinan prematur, solusio plasenta, dan perawatan bayi di NICU.
Defisiensi iodin
Begitu konsepsi terjadi, kebutuhan iodin yang cukup sangat diperlukan guna perkembangan neurologik janin. Asupan yang di rekomendasikan selama kehamilan adalah paling tidak 220 g/hari.
Defisiensi iodin akan mempengaruhi gangguan perkembangan neurologik janin. Pemberian suplemen tambahan pada keadaan defisiensi iodin yang ringan, akan mencegah terjadinya goiter pada janin.
Defisiensi iodin yang sedang akan memberikan efek sedang pula dan efeknya terhadap perkembangan fungsi intelektual dan psikomotor sangat bervariasi, sedangkan defisiensi iodin yang berat akan menyebabkan kerusakan yang berat seperti keadaan kretinisme endemik (endemic cretinism).
Pemberian tambahan iodin sebelum kehamilan akan mencegah kerusakan neurologik akibat defisiensi berat, bahkan akan memberikan efek pencegahan yang parsial meskipun baru diberikan ketika kehamilan sudah terjadi.
Hipotiroid kongenital
Insudensi hipotiroid kongenital adalah sekitar 1 diantara 4000-7000 bayi. 75 % bayi-bayi dengan hipotiroid memiliki kondisi agenesis kelenjar tiroid atau dishormonogenesis, sedangkan 10 % lainnya menderita hipotiroid transien. Pemberian terapi pengganti tiroksin secara dini dan agresif sangat penting untuk bayi-bayi ini, kecuali pada yang menderita hipotiroid kongenital yang berat.

Gejala klinis
Diagnosis berdasarkan klinis sulit dilakukan karena penyakit hipotiroid pada kehamilan dengan kehamilan normal memiliki gejala-gejala klinis yang sama seperti :
    kelelahan
    mual
    penurunan berat badan
    kesemutan
    sulit buang air besar
    pusing, sakit kepala
Selain itu gejala lain seperti :
    pembengkakan kulit disekitar mata (non-pitting oedema)
    kulit kering
    suara serak dan
    lidah besar
    Hipotiroid pada ibu hamil dapat berakibat buruk bagi ibu maupun perkembangan janin atau bayinya, terutama bila hipotiroid terjadi pada trimester pertama karena pada periode tersebut janin hanya dapat memperoleh hormon tiroid dari ibunya.
Sebanyak 2,5% wanita akan memiliki kadar TSH yang meningkat hingga lebih dari 6 dan sebanyak 0,4% akan memiliki kadar TSH lebih dari 10 selama kehamilan. Apabila tidak diobati, hipotiroidisme pada masa kehamilan dapat menyebabkan :
    Biasanya kehamilan berakhir dengan abortus, sehingga tidak jarang wanita menderita abortus habitualis.
    Kelahiran premature
    BBLR
    Anemia
    Kelainan plasenta (solusio plasenta)
    Perdarahan setelah melahirkan.

    Mempercepat terjadinya
- Gagal ginjal kongestif pada ibu
- Gagal jantung
-  Preeklampsia
Dampak pada anak yang dilahirkan adalah
    ketidakseimbangan perkembangan psikomotor
    Kemungkinan cacat bawaan
    Bayi juga menjadi hipotiroid
    Kretinisme
    Memiliki berat badan rendah dan
    Berkurangnya fungsi intelektual jangka panjang  atau retardasi mental
Pemeriksaan
Untuk memastikan apakah ibu hamil mengalami hipotiorid atau tidak maka perlu dilakukan skrining laboratorium yaitu dengan melakukan pemeriksaan TSHs,  FT4, T3 dan anti TPO.
Penatalaksanaan
Pengobatan hipotiroidisme adalah Terapi pengganti dengan memberikan tiroksin, dosis antara 50-100 g per hari. Tujuannya ada¬lah menormalkan kadar hormon tiroid pada ibu hamil sehingga mencegah kelainan kehamilan dan cacat janin Kadar serum tirotropin diukur setiap 4-6 minggu dan dosis tiroksin ditingkatkan antara 25-50 g sampai mencapai nilai normal.
Diagnosa
1.    Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan proses kognitif.
2. Perubahan suhu tubuh
3. Konstipasi berhubungan dengan penurunan gastrointestinal.
4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan depresi ventilasi.




Intervensi
1.    Intoleransiaktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan proses kognitif
Tujuan : Meningkatkan partisipasi dalam aktivitas dan kemandirian.
Kriteria hasil : aktivitas dapat di lakukan
Intervensi :    Atur interval waktu antara aktivitas dengan kelelahan dan penurunan proses kognitif.
Rasional    :    Mendorong aktivitas sambil memeberikan kesempatan untuk mendapatkan istirahat yang adekuat.
Intervensi :         Bantu aktiviatas perawatan mandiri ketika pasien berada dalam keadaan lain.
Rasional    :    Dengan membersihkan trakheostomy, menghindari terjadinya penumpukan sekret dan agar jalan nafas bersih
Intervensi :        Berikan stimulasi melalui percakapan dan aktivitas yang tidak menimbulkan stress.
Rasional    :    Meningkatkan perhatian tanpa terlalu menimbulakan stree pada pasien.
2.    Perubahan suhu tubuh
Tujuan : Pemeliharan suhu tubuh yang normal
Kriteria hasil : Suhu tubuh tetap normal.
Intervensi    :    Berikan tambahan lapisan pakaian atau tambahan selimut.
Rasional    :    Meminimalkan kehilangan panas
Intervensi    :    Hindari dan cegah penggunaan sumber panas dari luar
Rasional    :    Mengidentifikasi adanya infeksi dan memperkecil komplikas
Intervensi    :    Pantau suhu tubuh pasien dan melaporkan penurunanya dari nilai dasar suhu normal pasien.
Rasional    :    Mendeteksi penurunan suhu tubuh dan dimulainya komamik sedema.



3.    Konstipasi berhubungan dengan penurunan gastrontestinal
Tujuan : pemeliharaan funsi usus yang normal
Kriteria hasil : usus tetap terjaga
Intervensi    :    Dorong peningkatan asupan cairan
Rasional    :    Meminimalkan kehilangan panas
Intervensi    :    Berikan makanan yang kaya akan serat
Rasional    :     Meningkatkan massa feses dan frekuensi buang air besar.
Intervensi    :    Ajarkan kepada klien,tentang jenis-jenis makanan yang banyak mengandung air.
Rasional    :     Untuk peningkatan asupan cairan kepada pasien agar feses tidak keras.
Intervensi    :    Pantau fungsi usus
Rasional    :     Memungkinkan deteksi konstipasi dan pemulihan kepada pola defekasi yang normal.
Intervensi    :    Dorong klien untuk meningkatkan mobilisasi dalam batas toleransi latihan.
Rasional    :    Meningkatkan evakuasi feses.
        
4.    Pola nafas tidak efektif berhubungan depresi ventilasi
Tujuan :Perbaikan status respiratorius dan pemeliharaan pola nafas yang normal
Kriteria hasil : Klien dapat bernafas dengan baik.
Intervensi    :    Pantau frekuensi ke dalaman pola pernafasan oksimetri denyut nadi dan gas darah arterial
Rasional    :    Mengidentifikasi hasil pemeriksaan dasar untuk memantau perubahan selanjutnya dan mengevaluasi efektifitas intervensi.
Intervensi    :     Dorong pasien untuk napas dalam dan batuk.
Rasional    :    Mencegah aktifitas dan meningkatkan pernapasannya adekuat.
Intervensi    :     Berikan obat ( hipnotik dan sedatip) dengan hati-hati.
Rasional    :    Pasien hipotiroidisme sangat rentan terhadap gangguan pernapasan akibat gangguan obat golongan hipnotiksedatif.
Intervensi    : Pelihara saluran napas pasien dengan melakukan pengisapan dan dukungan ventilasi jika di perlukan.
Rasional    :    Penggunaan saluran napas artifisial dan dukungan ventilasi mungkin di perlukan jika terjadi depresi pernapasan

b.    Hipertiroid
Hipertiroid pada kehamilan (morbus basodowi) adalah hiperfungsi kelenjar tiroid ditandai dengan naiknya metabolisme basal 15-20%, kadang kala disertai pembesaran ringan  kelenjar tiroid. Penderita hipertiroid biasanya mengalami gangguan haid ataupun kemandulan. Kadang juga terjadi kehamilan atau timbul penyakit baru, timbul dalam masa kehamilan.(Wilson, 2005)
Hipertiroid adalah respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid yang berlebihan.Bentuk yang umum dari masalah ini adalah penyakit graves,sedangkan bentuk yang lain adalah toksik adenoma , tumor kelenjar hipofisis yang menimbulkan sekresi TSH meningkat,tiroditis subkutan dan berbagai bentuk kenker tiroid. (arief mansjoer, 1999)
Insidensi kehamilan dengan gejala tirotoksikosis atau hipertiroidisme adalah 1:2000 kehamilan.
Kehamilan normal akan menimbulkan keadaan klinik yang mirip dengan kelebihan tiroksin (T4), sehingga tirotoksikosis yang ringan mungkin akan sulit terdiagnosis.
Gambaran laboratorium memperlihatkan kadar serum T4 bebas meningkat, sedangkan kadar tirotropin menurun. Kadar tirotropin bisa terdeteksi sampai kadar kurang dari 0,1 m U/I , sehingga akan meyebabkan ditemukannya keadaan hipertiroid subklinis (sekitar 1%). Keadaan subklinis ini dapat ditemukan dan terdeteksi dengan pemeriksaan tirotropin. Efek jangka panjang keadaan tirotoksikosis subklinikal yang persisten diawasi secara berkala karena dan menyebabkan terjadinya aritmia jantung, hipertrofi ventrikel jantung, dan osteopenia.
Beberapa gejala yang sering ditemukan adalah takikardi pada kehamilan normal, nadi rata-rata waktu tidur meningkat, tiromigali, eksoftalmus, tremor, hiperkinesis, kenaikan bmr sampai 25%, dan kadar tiroksin dalam darah. Kelenjar tiroid membesar dan berat badan tidak tambah walaupun cukup makan.
Gejala Klinik
    Takikardi
    Susah tidur (Insomnia)
    Eksoftalmus (Mata kelihatan melotot)
    Tiromegali
    Penurunan berat badan
    Nyeri sendi
    Tremor (Gemetaran), Gugup (Nervous)
    Merasa kepanasan pada suhu normal atau dingin
    Keringat berlebihan
Pengaruh kehamilan terhadap penyakit :
    Kehamilan dapat membuat struma tambah besar dan
    keluhan penderita bertambah berat
Pengaruh penyakit terhadap kehamilan dan persalinan :
    Kehamilan sering berakhir : abortus (abortus habitualis)
    Partus prematurus
    Kala II hendaknya diperpendek dengan ekstraksi vakum atau forseps, karena bahaya kemungkinan timbulnya dekompensasi kordis.

Dampak  pada Janin dan Neonatus
Sebagian janin bisa dalam keadaan eutiroid dan sebagian kecil lainya hiper atau hipotiroid. Kedua kondisi ini dapat terjadi seiring dengan ada tidaknya goiter.
Gambaran klinik yang mungkin dapat ditemukan pada bayi baru lahir dari ibu yang terpapar  tiroksin secara berlebihan adalah sebagai berikut :
    Terlihatnya gambaran goiter tirotoksikosis pada janin atau bayi baru lahir akibat adanya transfer thyroid-stimulating immunoglobulin melalui plasenta. Janin bisa dalam keadaan nonimmune hydrops atau bahkan meninggal.
    Dapat terjadi goiter hipotiroid pada janin dari ibu yag mendapatkan pengobatan golongan thiomide. Keadaan hipotiroid ini dapat diterapi dengan pemberian tiroksin secara intra-amniotik.
    Pada janin juga dapat terjadi hipotiroidism tanpa adanya goiter sebagai akibat masuknya thyrotropin-receptor blocking antibodies ibu melalui plasenta.
Hasil Akhir Kehamilan
Keadaan bayi perinatal dari perempuan dengan tirotoksikosis sangat tergantung dengan tercapai tidaknya pengontrolan metabolic. Kelebihan tiroksin dapat menyebabkan keguguran spontan.
Pada perempuan yang tidak mendapat pengobatan, atau pada mereka yang tetap hipertiroid meskipun terapi telah diberikan, akan meningkatkan resiko terjadinya preeklamsi, kegagalan jantung dan keadaan perinatal yang buruk.
Pemeriksaan Laboratorium
    Thyroid-stimulating hormone (TSH): biasanya rendah.
    Kadar serum T4 bebas meningkat.
    Triiodothyronine (T3): meningkat.
    TSH receptor antibody (TSI): antibodi ini ada pada Grave's disease.
    Antithyroid antibodi: antibodi ini ada pada Hashimoto dan Grave's disease.
Penatalaksanaan
•    Pemberian obat-obat Propylthiouracil (PTU) atau methimazole (Tapazole)
•    Operasi tiroidektomi, lakukan pada trimester III
Pengobatan hyperthyroid dalam kehamilan dipergunakan obat-obatan seperti Propylthiouracil (PTU) atau methimazole (Tapazole) yang merupakan obat lapis pertama (first line). Kedua obat ini sama efekifitasnya serta tidak meningkatkan risiko efek samping jika dikonsumsi saat hamil.
Beberapa klinisi memilih propylthiouracil (PTU) karena obat ini sebagian menghambat perubahan T4 menjadi T3 dan lebih sedikit melewati sawar plasenta bila dibandingkan dengan methimazole.
Walau jarang dan belum terbukti, penggunaan methimazole harus lebih hati-hati karena pemberian diawal kehamilan diduga ada hubungannya dengan terjadinya atresia esophagusm (kegagalan pada fase embrio), khoana dan aplasia cutis.

Diagnosa Keperawatan
1.    Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung b/d hipertiroid tidak terkontrol, keadaan hipermetabolisme; peningkatan beban kerja jantung; , perubahan dalam arus balik vena dan tahan vaskuler sistemik;
2.    Kelelahan b/d hipermetabolik dengan peningkatan kebutuhan energi; peka rangsang dari saraf sehubungan dengan gangguan kimia tubuh.
3.    Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan metabolisme (peningkatan nafsu makan/pemasukan dengan penurunan berat badan); mual muntah, diare; kekurangan insulin yang relatif, hiperglikemia.
4.    Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas jaringan b/d perubahan mekanisme perlindungan dari mata; kerusakan penutupan kelopak mata/eksoftalmus.

Intervensi Keperawatan
1.    Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung b/d hipertiroid tidak terkontrol, keadaan hipermetabolisme; peningkatan beban kerja jantung; ,
Tujuan : mempertahankan curah jantung yang adekuat sesuai dengan kebutuhan tubuh yang ditandai dengan tanda vital stabil, denyut nadi perifer normal, pengisisan kapiler normal, stauts mental baik, tidak ada disritmia.
Intervensi
1. Pantau tekanan darah pada posisi baring, duduk dan berdiri jika memungkinkan. Perhatikan besarnya tekanan nadi.
2.    Pantau CVP jika pasien menggunakannya.
3.    Periksa/teliti kemungkinan adanya nyeri dada atau angina yang dikeluhkan pasien.
4.    Kaji nadi atau denyut jantung saat pasien tidur.
5.    Auskultasi suara antung, perhatikan adanya bunyi jantung tambahan, adanya irama gallop dan murmur sistolik.
6.    Pantau EKG, catat dan perhatikan kecepatan atau irama jnatung dan adanya disritmia.
7.    Auskultasi suara nafas, perhatikan adanya suara yang tidak normal.

2.    Kelelahan b/d hipermetabolik dengan peningkatan kebutuhan energi; peka rangsang dari saraf sehubungan dengan gangguan kimia tubuh.
Hasil yang diharapkan : Megungkapkan secara verbal tentang peningkatan tingkat energi, menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam melakukan aktifitas.

Intervensi
1.    Pantau tanda vital dan catat nadi baik saat istirahat maupun saat melakukan aktifitas.
2.    Catat berkembangnya takipnea, dispnea, pucat dan sianosis.
3.    Berikan/ciptakan lingkungan yang tenang, ruangan yang dingin, turunkan stimulasi sesori, warna – warna yang sejuk dan musik santai (tenang).
4.    Sarankan pasien untuk mengurangi aktifitas dan meningkatkan istirahat di tempat tidur sebanyak – banyaknya jika memungkinkan.
5.    Berikan tindakan yang membuat pasien nyaman, seperti: sentuhan/masase, bedak yang sejuk.
6.    Memberikan aktifitas pengganti yang menyenangkan dan tenang, seperti membaca, mendengarkan radio dan menonton televisi.

3.    Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan metabolisme (peningkatan nafsu makan/pemasukan dengan penurunan berat badan); mual muntah, diare; kekurangan insulin yang relatif, hiperglikemia.
Tujuan : Menunjukkan berat badan yang stabil disertai dengan nilai laboratorium yang normal dan terbebas dari tanda – tanda malnutrisi
Intervensi
1.    Auskultasi bising usus.
2.    Catat dan laporkan adanya anoreksia, kelelahan umum/nyeri, nyeri abdomen, munculnya mual dan muntah.
3.    Pantau masukan makanan setiap hari dan timbang berat badan setiap hari serta laporkan adanya penurunan berat badan.
4.    Dorong pasien untuk makan dan meningkatkan jumlah makan dan juga makanan kecil, dengan menggunakan makanan tinggi kalori yang mudah dicerna.
5.    Hindari pemberian makanan yang dapat meningkatkan peristaltik usus (mis. Teh, kopi dan makanan berserat lainnya) dan cairan yang menyebabkan diare (mis. Apel, jambu dll).

4.    Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas jaringan b/d perubahan mekanisme perlindungan dari mata; kerusakan penutupan kelopak mata/eksoftalmus.
Tujuan : Mampu mengidentifikasikan tindakan untuk memberikan perlindungan pada mata dan pencegahan komplikasi.
Intervensi
1.    Observasi edema periorbital, gangguan penutupan kelopak mata, lapang pandang sempit, air mata berlebihan. Catat adanya fotofobia, rasa adanya benda di luar mata dan nyeri pada mata.
2.    Evaluasi ketajaman mata, laporkan adanya pandangan yang kabur atau pandangan ganda (diplopia).
3.    Anjurkan pasien menggunakan kacamata gelap ketika terbangun dan tutup dengan penutup mata selama tidur sesuai kebutuhan.
4.    Bagian kepala tempat tidur ditinggikan dan batasi pemakaian garam jika ada indikasi.
5.    Instruksikan agar pasien melatih otot mata ekstraokular jika memungkinkan

BAB III
KESIMPULAN

Berbagai perubahan hormonal dan metabolik terjadi selama kehamilan, menyebabkan perubahan kompleks pada fungsi tiroid maternal. Selama kehamilan normal kadar tiroid binding globulin (TBG) dalam sirkulasi meningkat dan juga akhirnya T3 dan T4 ikut meningkat
Kelainan tiroid pada kehamilan dapat berupa kekurangan (hipotiroid) atau kelebihan (hipertiroid) hormon tiroid. Kelainan tiroid ini dapat mempengaruhi ibu dan janin yang dikandungnya.
Pada umumnya, hipotiroid pada ibu hamil terjadi karena kekurangan iodium. hipotiroid pada kehamilan dengan kehamilan normal memiliki gejala-gejala klinis yang sama seperti : kelelahan, mual, penambahan, berat badan. kesemutan, sulit buang air besar, pusing, sakit kepala, pembengkakan kulit disekitar mata (non-pitting oedema), kulit kering, suara serak dan lidah besar. Hipotiroid pada masa kehamilan dapat menyebabkan : kehamilan berakhir dengan abortus, sehingga tidak jarang wanita menderita abortus habitualis, kelahiran prematures, anemia, gagal jantung, preeclampsia, kelainan plasenta (solusio plasenta), perdarahan setelah melahirkan. Dampak pada anak yang dilahirkan adalah ketidakseimbangan perkembangan psikomotor, kemungkinan cacat bawaan, bayi juga menjadi hipotiroid, kretinisme, memiliki berat badan rendah dan berkurangnya fungsi intelektual jangka panjang  atau retardasi mental. Pengobatan hipotiroidisme adalah Terapi pengganti dengan memberikan tiroksin, dosis antara 50-100 g per hari.
Hipertiroid pada kehamilan penyebab tersering adalah Graves. Gejala kliniknya takikardi, susah tidur (Insomnia), eksoftalmus, tiromegali, penurunan berat badan, nyeri sendi, tremor gugup, merasa kepanasan pada suhu normal atau dingin, dan keringat berlebihan. Kelebihan tiroksin dapat menyebabkan keguguran spontan. Sebagian janin bisa dalam keadaan eutiroid dan sebagian kecil lainya hiper atau hipotiroid. Terlihatnya gambaran goiter tirotoksikosis pada janin atau bayi baru lahir. Pada perempuan yang tidak mendapat pengobatan, atau pada mereka yang tetap hipertiroid meskipun terapi telah diberikan, akan meningkatkan resiko terjadinya preeklamsi, kegagalan jantung dan keadaan perinatal yang buruk. Pengobatan hyperthyroid dalam kehamilan dipergunakan obat-obatan seperti Propylthiouracil (PTU) atau methimazole (Tapazole) yang merupakan obat lapis pertama (first line).



DAFTAR PUSTAKA

Bobak. Lowdermilk. Jensen. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Penerbit. Buku Kedokteran EGC.

Biunner dan Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Vol.2 Edisi 8, Penerbit EGC Buku Kedokteran.

Cuningham, F.G.  Obstetri William Vol 1.  Edisi 2.  Jakarta : EGC. 2006.

P. Sarwono. 2009. Ilmu kebidanan. edisi ke 4. Yayasan bina pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta.

http://rinton.wordpress.com/2009/10/21/tiroid-kelenjar-gondok/

http://www.indonesiaindonesia.com/f/11231-kelenjar-tiroid/

http://artikelkedokteran.net/fungsi-kelenjar-tiroid.htm

http://healthycaus.blogspot.com/2009/07/askep-pada-ibu-hamil-dgn-hypertiroid.htm

http://keperawatantakim.blogspot.com/2009/09/04/askep-gangguan-tiroid.html(tinjauanteoritis)

http://www.asuhan-kep-kebidanan.co.cc/2010/03/askep-ibu-hamil-dgn-hyprtiroid.html

Minggu, 25 Maret 2012

SIROSIS HEPATITIS

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada pasien yang berusia 45 – 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker).  Diseluruh dunia sirosis menempati urutan ke tujuh penyebab kematian. Sekitar  25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini. Sirosis hati merupakan penyakit hati yang sering ditemukan dalam ruang perawatan Bagian Penyakit Dalam.
Perawatan di Rumah Sakit sebagian besar kasus terutama ditujukan untuk mengatasi berbagai penyakit yang ditimbulkan seperti perdarahan saluran cerna bagian atas, koma peptikum, hepatorenal sindrom, dan asites, Spontaneous bacterial peritonitis serta Hepatosellular carsinoma.
Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia. di dalam hati terjadi proses-proses penting bagi kehidupan kita. yaitu proses penyimpanan energi, pengaturan metabolisme kolesterol, dan peneralan racun/obat yang masuk dalam tubuh kita. sehingga dapat kita bayangkan akibat yang akan timbul apabila terjadi kerusakan pada hati.
Gejala klinis dari sirosis hati sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala sampai dengan gejala yang sangat jelas. Apabila diperhatikan, laporan di negara maju, maka kasus Sirosis hati yang datang berobat ke dokter hanya kira-kira 30% dari seluruh populasi penyakit in, dan lebih kurang 30% lainnya ditemukan secara kebetulan ketika berobat untuk penyakit lain, sisanya ditemukan saat atopsi.




BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.  Defenisi
Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001).
Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronik yang dicirikan dengan distorsi arsitektur hati normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasi sel hati, yang tidak berkaitan dengan vaskulatur normal (Price & Willson, 2005, hal : 493).
Sirosis hepatis adalah penyakit kronik hati yang dikarakteristikkan oleh gangguan struktur dan perubahan degenerasi, gangguan fungsi seluler, dan selanjutnya aliran darah ke hati (Doenges, dkk, 2000, hal: 544).
Istilah Sirosis hati  diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari kata Khirros yang berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna pada nodulnodul yang terbentuk. Pengertian sirosis hati dapat dikatakan sebagai berikut yaitu suatu keadaan disorganisassi yang difuse dari struktur hati yang normal akibat nodul  regeneratif yang dikelilingi jaringan mengalami fibrosis.  Secara lengkap Sirosis hati adalah suatu penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi  pembuluh darah besar dan seluruh sitem arsitektur hati mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan terjadi penambahan jaringan ikat (fibrosis) disekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi.
Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika dibandingkan dengan kaum wanita sekita 1,6 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan umur 30 – 59 tahun dengan puncaknya sekitar 40 – 49 tahun.



B.  Etiologi
Sirosis terjadi di hati sebagai respon terhadap cedera sel berulang dan reaksi peradangan yang di timbulkan. Penyebab sirosis antara lain adalah infeksi misalnya hepatitis dan obstruksi saluran empedu yang menyebabkan penimbunan empedu di kanalikulus dan ruptur kanalikulus, atau cedera hepatosit akibat toksin.
Penyebab lain dari sirosis hepatis, yaitu:
1.    Alkohol, suatu penyebab yang paling umum dari sirosis, terutama di daerah Barat. Perkembangan sirosi tergantung pada jumlah dan keteraturan mengonsumsi alkohol. Mengonsumsi alkohol pada tingkat-tingkat yang tinggi dan kronis dapat melukai sel-sel hati.Alkohol menyebabkan suatu jajaran dari penyakit-penyakit hati, yaitu dari hati berlemak yang sederhana dan tidak rumit (steatosis), ke hati berlemak yang lebih serius dengan peradangan (steatohepatitis atau alcoholic hepatitis), ke sirosis. Sirosis kriptogenik, disebabkan oleh(penyebab-penyebab yang tidak teridentifikasi, misalnya untuk pencangkokan hati). Sirosis kriptogenik dapat menyebabkan kerusakan hati yang progresif dan menjurus pada sirosis, dandapat pula menjurus pada kanker hati.
2.    Kelainan-kelainan genetik yang diturunkan/diwariskan berakibat pada akumulasi unsur-unsur beracun dalam hati yang menjurus pada kerusakan jaringan dan sirosis. Contohnya akumulasi besi yang abnormal (hemochromatosis) atau tembaga (penyakit Wilson). Pada hemochromatosis, pasien mewarisi suatu kecenderungan untuk menyerap suatu jumlah besi yang berlebihan dari makanan.
3.    Primary Biliary Cirrhosis (PBC) adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh suatu kelainan dari sistem imun yang ditemukan pada sebagian besar wanita. Kelainan imunitas pada PBC menyebabkan peradangan dan kerusakan yang kronis dari pembuluh-pembuluh kecil empedu dalam hati. Pembuluh-pembuluh empedu adalah jalan-jalan dalam hati yang dilalui empedu menuju ke usus. Empedu adalah suatu cairan yang dihasilkan oleh hati yang mengandung unsur-unsur yang diperlukan untuk pencernaan dan penyerapan lemak dalam usus serta produk-produk sisa, seperti pigmen bilirubin (bilirubin dihasilkan dengan mengurai/memecah hemoglobin dari sel-sel darah merah yang tua).
4.    Primary Sclerosing Cholangitis (PSC) adalah suatu penyakit yang tidak umum yang seringkali ditemukan pada pasien dengan radang usus besar. Pada PSC, pembuluh-pembuluh empedu yang besar diluar hati menjadi meradang, menyempit, dan terhalangi. Rintangan pada aliran empedu menjurus pada infeksi-infeksi pembuluh-pembuluh empedu dan jaundice (kulit yang menguning) dan akhirnya menyebabkan sirosis.
5.    Hepatitis Autoimun adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh suatu kelainan sistem imun yang ditemukan lebih umum pada wanita. Aktivitas imun yang abnormal pada hepatitis autoimun menyebabkan peradangan dan penghancuran sel-sel hati (hepatocytes) yang progresif dan akhirnya menjurus pada sirosis.
6.    Bayi-bayi dapat dilahirkan tanpa pembuluh-pembuluh empedu (biliary atresia) kekurangan enzim-enzim vital untuk mengontrol gula-gula yang menjurus pada akumulasi gula-gula dan sirosis. Pada kejadian-kejadian yang jarang, ketidakhadiran dari suatu enzim spesifik dapat menyebabkan sirosis dan luka parut pada paru (kekurangan alpha 1 antitrypsin).
7.    Penyebab-penyebab sirosis yang lebih tidak umum termasuk reaksi-reaksi yang tidak umum pada beberapa obat-obatan dan paparan yang lama pada racun-racun, dan juga gagal jantung kronis (cardiac cirrhosis). Pada bagian-bagian tertentu dari dunia (terutama Afrika bagian utara), infeksi hati dengan suatu parasit (schistosomiasis) adalah penyebab yang paling umum dari penyakit hati dan sirosis.

C.  Patofisiologi
Minuman yang mengandung alkohol dianggap sebagai factor utama terjadinya sirosis hepatis. Selain pada peminum alkohol, penurunan asupan protein juga dapat menimbulkan kerusakan pada hati, Namun demikian, sirosis juga pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasan minum dan pada individu yang dietnya normal tapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi.
Faktor lain diantaranya termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon tetraklorida, naftalen, terklorinasi, arsen atau fosfor) atau infeksi skistosomiastis dua kali lebih banyak daripada wanita dan mayoritas pasien sirosis berusia 40 – 60 tahun.
Sirosis laennec merupakan penyakit yang ditandai oleh nekrosis yang melibatkan sel-sel hati dan kadang-kadang berulang selama perjalanan penyakit sel-sel hati yang dihancurkan itu secara berangsur-angsur digantikan oleh jaringan parut yang melampaui jumlah jaringan hati yang masih berfungsi. Pulau-pulau jaringan normal yang masih tersisa dan jaringan hati hasil regenerasi dapat menonjal dari bagian-bagian yang berkonstriksi sehingga hati yang sirotik memperlihatkan gambaran mirip paku sol sepatu berkepala besar (hobnail appearance) yang khas.


D.  Patoflow
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjzeUqXDOR3diqDhx5qvLbNC23xVDpMS6GdkTr0c2Llnxp6IthIVvjuaZvnEywgQ4AcOb6m9FIOvIlz3d0yuNRi6OYlRSudeBxE7yeM8paB0SylQxizeWsDZMEk1AvgNkRaF52ovaHstGM/s1600/Hepatitis1.jpg








E. Komplikasi
Bila penyakit sirosis hati berlanjut progresif, maka gambaran klinis, prognosis, dan pengobatan tergantung pada 2 kelompok besar komplikasi :
1.    Kegagalan hati (hepatoseluler) : timbul spider nevi, eritema Palmaris, atrofi testis, ginekomastia, ikterus, ensefalopati, dll.
2.    Hipertensi portal : dapat menimbulkan splenomegali, pemekaran pembuluh vena esophagus/cardia, caput medusa, hemoroid, vena kolateral dinding perut.
Bila penyakit berlanjut maka dari kedua komplikasi tersebut dapat timbul komplikasi dan berupa :
1.          Asites.
2.          Ensefalopati.
3.          Peritonitis bacterial spontan.
4.          Sindrom hepatorenal.
5.          Transformasi kearah kanker hati primer (hepatoma).

F.   Klasifikasi
Berdasarkan morfologi Sherlock membagi Sirosis hati atas 3 jenis, yaitu :
1. Mikronodular
2. Makronodular
3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular)
Secara Fungsional Sirosis terbagi atas :
a.    Sirosis hati kompensata        
Sering disebut dengan Laten Sirosis hati. Pada atadiu kompensata ini belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat pemeriksaan screening.
b.    Sirosis hati Dekompensata
 Dikenal dengan Active Sirosis hati, dan stadium ini biasanya gejala-gejala sudah jelas, misalnya ; ascites, edema dan ikterus.
Penatalaksaan pasien sirosis biasanya didasarkan pada gejala yang ada. Sebagai contoh, antasid diberikan untuk mengurangi distress lambung dan meminimalkan kemungkinan perdarahan gastrointestinal. Vitamin dan suplemen nutrisi akan meningkatkan proses kesembuhan pada sel-sel hati yang rusak dan memperbaiki status gizi pasien. Pemberian preparat diuretik yang mempertahankan kalium (spironolakton) mungkin diperlukan untuk mengurangi asites dan meminimalkan perubahan cairan serta elektrolit yang umum terjadi pada penggunaan jenis diuretik lainnya.
Penatalaksaan lainnya pada sirosis hepatis, yaitu:
1.    Istirahat yang cukup sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan demam.
2.    Makanan tinggi kalori dan protein.
3.    Mengatasi infeksi dengan antibiotik.
4.    Memperbaiki keadaan gizi.
5.    Roboransia. Vitamin B Kompleks yang cukup. Dilarang makan-makanan yang mengandung alkohol.



Penatalaksanaan pada asites dan edema, yaitu:
1.    Istirahat dan diet rendah garam.
2.    Bila istirahat dan diet rendah garam tidak dapat diatasi, diberikan pengobatan diuretik berupa spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat ditingkatkan sampai 300 mg/hari bila setelah 3-4 hari tidak terdapat perubahan.
3.    Bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi medikamentosa yang intensif) lakukan terapi parasentesis.
4.    Pengendalian cairan asites. Diharapkan terjadi penurunan berat badan 1kg/2 hari atau keseimbangan cairan negative 600-800 ml/hari. Hati-hati bila cairan terlalu banyak dikeluarkan dalam satu saat, dapat mencetus ensefalopati hepatik.

G.  Tanda dan Gejala
Penyakit sirosis hepatis mempunyai gejala seperti ikterus dan febris yang intermiten. Adanya pembesaran pada hati. Pada awal perjalanan sirosis hepatis ini, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni).
Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol (noduler). Obstruksi Portal dan Asites. Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan pelintasan darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita dispepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan.
Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh. Varises Gastrointestinal.
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrofik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh portal ke dalam pernbuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah di seluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral.
Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Edema. Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium.






H.  Pemeriksaan Penunjang
1.     Pemeriksaan Laboratorium
a.    Pada Darah dijumpai HB rendah, anemia normokrom normositer, hipokrom mikrositer / hipokrom makrositer, anemia dapat dari akibat hipersplemisme dengan leukopenia dan trombositopenia, kolesterol darah yang selalu rendah mempunyai prognosis yang kurang baik.
b.    Kenaikan kadar enzim transaminase – SGOT, SGPT bukan merupakan petunjuk berat ringannya kerusakan parenkim hati, kenaikan kadar ini timbul dalam serum akibat kebocoran dari sel yang rusak, pemeriksaan bilirubin, transaminase dan gamma GT tidak meningkat pada sirosis inaktif.
c.    Albumin akan merendah karena kemampuan sel hati yang berkurang, dan juga globulin yang naik merupakan cerminan daya tahan sel hati yang kurang dan menghadapi stress.
d.   Pemeriksaan CHE (kolinesterase). Ini penting karena bila kadar CHE turun, kemampuan sel hati turun, tapi bila CHE normal / tambah turun akan menunjukan prognasis jelek.
e.    Kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretic dan pembatasan garam dalam diet, bila ensefalopati, kadar Na turun dari 4 meg/L menunjukan kemungkinan telah terjadi sindrom hepatorenal.
f.     Pemanjangan masa protrombin merupakan petunjuk adanya penurunan fungsi hati. Pemberian vit K baik untuk menilai kemungkinan perdarahan baik dari varises esophagus, gusi maupun epistaksis.
g.    Peningggian kadar gula darah. Hati tidak mampu membentuk glikogen, bila terus meninggi prognosis jelek.
h.    Pemeriksaan marker serologi seperti virus, HbsAg/HbsAb, HbcAg/ HbcAb, HBV DNA, HCV RNA., untuk menentukan etiologi sirosis hati dan pemeriksaan AFP (alfa feto protein) penting dalam menentukan apakah telah terjadi transpormasi kearah keganasan.




Pemeriksaan laboraturium pada sirosis hati meliputi hal-hal berikut.
1.    Kadar Hb yang rendah (anemia), jumlah sel darah putih menurun (leukopenia), dan trombositopenia.
2.    Kenaikan SGOT, SGPT dan gamma GT akibat kebocoran dari sel-sel yang rusak. Namun, tidak meningkat pada sirosis inaktif.
3.    Kadar albumin rendah. Terjadi bila kemampuan sel hati menurun.
4.    Kadar kolinesterase (CHE) yang menurun kalau terjadi kerusakan sel hati.
5.    masa protrombin yang memanjang menandakan penurunan fungsi hati.
6.    pada sirosis fase lanjut, glukosa darah yang tinggi menandakan ketidakmampuan sel hati membentuk glikogen.
7.    Pemeriksaan marker serologi petanda virus untuk menentukan penyebab sirosis hati seperti HBsAg, HBeAg, HBV-DNA, HCV-RNA, dan sebagainya.
8.    Pemeriksaan alfa feto protein (AFP). Bila ininya terus meninggi atau >500-1.000 berarti telah terjadi transformasi ke arah keganasan yaitu terjadinya kanker hati primer (hepatoma).
Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan antara lain ultrasonografi (USG), pemeriksaan radiologi dengan menelan bubur barium untuk melihat varises esofagus, pemeriksaan esofagoskopi untuk melihat besar dan panjang varises serta sumber pendarahan, pemeriksaan sidikan hati dengan penyuntikan zat kontras, CT scan, angografi, dan endoscopic retrograde chlangiopancreatography (ERCP).
Pengobatan tergantung dari derajat kegagalan hati dan hipertensi portal. Bila hati masih dapat mengkompensasi kerusakan yang terjadi maka penderita dianjurkan untuk mengontrol penyakitnya secara teratur, istirahat yang cukup, dan melakukan diet sehari-hari yang tinggi kalori dan protein disertai lemak secukupnya.




Dalam hal ini bila timbul komplikasi maka hal-hal berikut harus diperhatikan.
1.    Pada ensefaopati pemasukan protein harus dikurangi. Lakukan koreksi faktor pencetus seperti pemberian kalium pada hipokalemia, pemberian antibiotik pada infeksi, dan lain-lain.
2.    apabila timbul asites lanjut maka penderita perlu istirahat di tempat tidur. Konsumsi garam perlu dikurangi hingga kira-kira 0.5 g per hari dengan botol cairan yang masuk 1.5 1 per hari. Penderita diberi obat diureti distal yaitu Spronolakton 4×25 g per hari, yang dapat dinaikkan sampai dosis total 800 mg perhari. Bila perlu, penderita diberikan obat diuretik loop yaitu Furosemid dan dilakukan koreksi kadar albumin di dalam darah.
3.    Pada pendarahan varises esofagus penderita memerlukan perawatan di rumah sakit.
4.    Apabila timbul sindroma hepatorenal yaitu terjadinya gagal ginjal akut yang berjalan progresif pada penderita penyakit hati kronis dan umumnya disertai sirosis hati dengan asites maka perlu perawatan segera di rumah sakit. Keadaan ini ditandai dengan kadar urea yang tinggi di dalam darah (azotemia) dan air kencing yang keluar sangat sedikit (oliguria).

I.     Pengobatan
Secara umum, kerusakan sel-sel hati tidak dapat direhabilitasi. Tujuan pengobatan adalah mencegah pembentukan jaringan parut hati lebih lanjut, atau memperlambat kerusakan sel-sel hati. Sirosis cenderung semakin memburuk jika penyebab yang mendasari tetap ada.  Oleh karena itu perlu upaya untuk memperlambat atau menghentikan penyebab sirosis, misalnya:
1.     Tidak minum alkohol jika alkohol adalah penyebabnya.
2.     Pengobatan untuk mengendalikan virus hepatitis.
3.     Steroid atau obat penekan kekebalan lainnya untuk mengobati penyakit autoimun menyebabkan kerusakan hati.
4.     Penghapusan kelebihan zat besi yang terjadi pada hemokromatosis.



Berbagai pengobatan mungkin disarankan, tergantung pada tingkat keparahan sirosis dan gejala yang berkembang, antara lain:
1.     Diet rendah natrium atau diuretik untuk mengurangi cairan yang terakumulasi dalam tubuh.
2.     Obat untuk mengurangi gatal.
3.     Obat-obatan yang dapat membantu mengurangi hipertensi portal.
4.     Pengurangan cairan yang menumpuk di perut (ascites).
Bila pasien mengalami perdarahan usus sehingga muntah darah, atau mengeluarkan darah melalui tinja, atau tinja menjadi hitam, dokter mungkin akan segera melakukan tindakan untuk mengatasinya. Berbagai teknik bedah dapat digunakan untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi risikonya lebih lanjut.
Dalam kasus yang parah di mana jaringan parut meluas dan hati nyaris tidak bisa berfungsi, maka transplantasi hati mungkin adalah satu-satunya pilihan.

J.     Pencegahan
Sirosis hati dapat dicegah dengan tidak mengkonsumsi alkohol dan menghindari risiko infeksi hepatitis C dan hepatitis B.




BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SIROSIS HEPATIS
1.    Pengkajian
o   Riwayat Kesehatan Sekarang
Mengapa pasien masuk Rumah Sakit dan apa keluahan utama pasien, sehingga dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat muncul.
o   Riwayat Kesehatan Sebelumnya
Apakah pasien pernah dirawat dengan penyakit yang sama atau penyakit lain yang berhubungan dengan penyakit hati, sehingga menyebabkan penyakit Sirosis hepatis. Apakah pernah sebagai pengguna alkohol dalam jangka waktu yang lama disamping asupan makanan dan perubahan dalam status jasmani serta rohani pasien.
o   Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah penyakit-penyakit yang dalam keluarga sehingga membawa dampak berat pada keadaan atau yang menyebabkan Sirosis hepatis, seperti keadaan sakit DM, hipertensi, ginjal yang ada dalam keluarga. Hal ini penting dilakukan bila ada gejala-gejala yang memang bawaan dari keluarga pasien.
o   Riwayat Tumbuh Kembang
Kelainan-kelainan fisik atau kematangan dari perkembangan dan pertumbuhan seseorang yang dapat mempengaruhi keadaan penyakit, seperti ada riwayat pernah icterus saat lahir yang lama, atau lahir premature, kelengkapan imunisasi, pada form yang tersedia tidak terdapat isian yang berkaitan dengan riwayat tumbuh kembang.
o   Riwayat Sosial Ekonomi
Apakah pasien suka berkumpul dengan orang-orang sekitar yang pernah mengalami penyakit hepatitis, berkumpul dengan orang-orang yang dampaknya mempengaruhi perilaku pasien yaitu peminum alcohol, karena keadaan lingkungan sekitar yang tidak sehat.
o   Riwayat Psikologi
Bagaimana pasien menghadapi penyakitnya saat ini apakah pasien dapat menerima, ada tekanan psikologis berhubungan dengan sakitnya. Kita kaji tingkah laku dan kepribadian, karena pada pasien dengan sirosis hepatis dimungkinkan terjadi perubahan tingkah laku dan kepribadian, emosi labil, menarik diri, dan depresi. Fatique dan letargi dapat muncul akibat perasaan pasien akan sakitnya. Dapat juga terjadi gangguan body image akibat dari edema, gangguan integument, dan terpasangnya alat-alat invasive (seperti infuse, kateter). Terjadinya perubahan gaya hidup, perubaha peran dan tanggungjawab keluarga, dan perubahan status financial (Lewis, Heitkemper, & Dirksen, 2000).
o   Pemeriksaan Fisik
§  Kesadaran dan keadaan umum pasien
Perlu dikaji tingkat kesadaran pasien dari sadar – tidak sadar (composmentis – coma) untuk mengetahui berat ringannya prognosis penyakit pasien, kekacuan fungsi dari hepar salah satunya membawa dampak yang tidak langsung terhadap penurunan kesadaran, salah satunya dengan adanya anemia menyebabkan pasokan O2 ke jaringan kurang termasuk pada otak.
§  Tanda – tanda vital dan pemeriksaan fisik Kepala – kaki
TD, Nadi, Respirasi, Temperatur yang merupakan tolak ukur dari keadaan umum pasien / kondisi pasien dan termasuk pemeriksaan dari kepala sampai kaki dan lebih focus pada pemeriksaan organ seperti hati, abdomen, limpa dengan menggunakan prinsip-prinsip inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi), disamping itu juga penimbangan BB dan pengukuran tinggi badan dan LLA untuk mengetahui adanya penambahan BB karena retreksi cairan dalam tubuh disamping juga untuk menentukan tingakat gangguan nutrisi yanag terjadi, sehingga dapat dihitung kebutuhan Nutrisi yang dibutuhkan.
1.    Hati : perkiraan besar hati, bila ditemukan hati membesar tanda awal adanya cirosis hepatis, tapi bila hati mengecil prognosis kurang baik, konsistensi biasanya kenyal / firm, pinggir hati tumpul dan ada nyeri tekan pada perabaan hati. Sedangkan pada pasien Tn.MS ditemukan adanya pembesaran walaupun minimal (USG hepar). Dan menunjukkan sirosis hati dengan hipertensi portal.
2.    Limpa: ada pembesaran limpa, dapat diukur dengan 2 cara :
-Schuffner, hati membesar ke medial dan ke bawah menuju umbilicus (S-I-IV) dan dari umbilicus ke SIAS kanan (S V-VIII)
-Hacket, bila limpa membesar ke arah bawah saja.
3.    Pada abdomen dan ekstra abdomen dapat diperhatikan adanya vena kolateral dan acites, manifestasi diluar perut: perhatikan adanya spinder nevi pada tubuh bagian atas, bahu, leher, dada, pinggang, caput medussae dan tubuh bagian bawah, perlunya diperhatikan adanya eritema palmaris, ginekomastia dan atropi testis pada pria, bias juga ditemukan hemoroid.

Masalah Keperawatan yang Muncul
1.     Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal.
2.     Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan.
3.     Gangguan integritas kulit berhubungan dengan pembentukan edema.

Diagnosa Keperawatan 1 : Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat (anoreksia, nausea, vomitus)
Tujuan : Status nutrisi baik
Intervensi :
a)    Kaji intake diet, Ukur pemasukan diit, timbang BB tiap minggu.
Rasional: Membantu dalam mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan diet. Kondisi fisik umum, gejala uremik (mual, muntah, anoreksia, dan ganggguan rasa) dan pembatasan diet dapat mempengaruhi intake makanan, setiap kebutuhan nutrisi diperhitungan dengan tepat agar kebutuhan sesuai dengan kondisi pasien, BB ditimbang untuk mengetahui penambahan dan penuruanan BB secara periodik.
b)    Berikan makanan sedikit dan sering sesuai dengan diet.
Rasional: Meminimalkan anoreksia dan mual sehubungan dengan status uremik.
c)     Tawarkan perawatan mulut (berkumur/gosok gigi) dengan larutan asetat 25 % sebelum makan. Berikan permen karet, penyegar mulut diantara makan.
Rasional: Membran mukosa menjadi kering dan pecah. Perawatan mulut menyejukkan, dan membantu menyegarkan rasa mulut, yang sering tidak nyaman pada uremia dan pembatasan oral. Pencucian dengan asam asetat membantu menetralkan ammonia yang dibentuk oleh perubahan urea (Black, & Hawk, 2005).
d)    Identifikasi makanan yang disukai termasuk kebutuhan kultural.
Rasional: Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam perencanaan makan, maka dapat meningkatkan nafsu makan pasien.
e)     Motivasi pasien untuk menghabiskan diet, anjurkan makan-makanan lunak.
Rasional: Membantu proses pencernaan dan mudah dalam penyerapan makanan, karena pasien mengalami gangguan sistem pencernaan.
f)     Berikan bahan penganti garam pengganti garam yang tidak mengandung amonium.
Rasional: Garam dapat meningkatkan tingkat absorsi dan retensi cairan, sehingga perlu mencari alternatif penganti garam yang tepat.
g)     Berikan diet 1700 kkal (sesuai terapi) dengan tinggi serat dan tinggi karbohidrat.
Rasional: Pengendalian asupan kalori total untuk mencapai dan mempertahankan berat badan sesuai dan pengendalian kadar glukosa darah
h)    Berikan obat sesuai dengan indikasi : Tambahan vitamin, thiamin, besi, asam folat dan Enzim pencernaan.
Rasional: Hati yang rusak tidak dapat menyimpan Vitamin A, B kompleks, D dan K, juga terjadi kekurangan besi dan asam folat yang menimbulkan anemia. Dan Meningkatkan pencernaan lemak dan dapat menurunkan diare.
i)      Kolaborasi pemberian antiemetik
Rasional: untuk menghilangkan mual / muntah dan dapat meningkatkan pemasukan oral.

Diagnosa Keperawatan 2 : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan.
Tujuan : Peningkatan energi dan partisipasi dalam aktivitas.
Intervensi :
a)    Tawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP).
Rasional : Memberikan kalori bagi tenaga dan protein bagi proses penyembuhan.
b)    Berikan suplemen vitamin (A, B kompleks, C dan K)
Rasional : Memberikan nutrien tambahan.
c)     Motivasi pasien untuk melakukan latihan yang diselingi istirahat
Rasional : Menghemat tenaga pasien sambil mendorong pasien untuk melakukan latihan dalam batas toleransi pasien.
d)    Motivasi dan bantu pasien untuk melakukan latihan dengan periode waktu yang ditingkatkan secara bertahap.
Rasional : Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya diri.

Diagnosa Keperawatan 3 : Gangguan integritas kulit berhubungan dengan pembentukan edema.
Tujuan : Integritas kulit baik
Intervensi :
a)    Batasi natrium seperti yang diresepkan.
Rasional : Meminimalkan pembentukan edema.
b)   Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit.
Rasional : Jaringan dan kulit yang edematus mengganggu suplai nutrien dan sangat rentan terhadap tekanan serta trauma.

c)    Ubah posisi tidur pasien dengan sering.
Rasional : Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan mobilisasi edema.
d)   Timbang berat badan dan catat asupan serta haluaran cairan setiap hari.
Rasional : Memungkinkan perkiraan status cairan dan pemantauan terhadap adanya retensi serta kehilangan cairan dengan cara yang paling baik.
e)    Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematus.
Rasional : Meningkatkan mobilisasi edema.
f)    Letakkan bantalan busa yang kecil dibawah tumit, maleolus dan tonjolan tulang lainnya.
Rasional : Melindungi tonjolan tulang dan meminimalkan trauma jika dilakukan dengan benar.





BAB IV
KESIMPULAN

  Mengingat pengobatan sirosis hati hanya merupakan simptomatik dan mengobati penyulit, maka prognosa SH bisa jelek. Namun penemuan sirosis hati yang masih terkompensasi mempunyai prognosa yang baik. Oleh karena itu ketepatan diagnosa dan penanganan yang tepat sangat dibutuhkan dalam  penatalaksanaan sirosis hati.



DAFTAR PUSTAKA

Hadi.Sujono, Gastroenterology,Penerbit Alumni / 1995 / Bandung

Rosenack,J, Diagnosis and Therapy of Chronic Liver and Biliarry Diseases

Sherlock.S, Penyakit Hati dan Sitim Saluran Empedu, Oxford,England Blackwell 1997
Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam jilid I, Edisi II, Penerbit Balai FK UI, Jakarta 1987